Selasa, 03 November 2009

FIQH IMARATUL-MASAJID (bag. 3 dr 4 tulisan)


INTISARI TAFSIRNYA

1 – Disebutnya kata “MASJID” secara mutlak. Adapun yang dimaksudkan adalah “MASJIDIL HARAM”, menurut sebagian ulama, ini termasuk susunan yang berbentuk MAJAZ MURSAL menurut Ilmu Balaghah, dengan menyebutkan secara umum (ITHLAQ) tapi yang dimaksudkan adalah tertentu (KHUSUS). Sedang diungkapkannya dalam bentuk jama’ masajid adalah karena ia merupakan “kiblat” dan imam bagi masjid-masjid yang lain seluruh dunia.

2 – Alasan hakiki dilarangnya orang-orang musyrik memakmurkan rumah-rumah Allah swt. ialah kekufurannya itu sendiri bukan pengakuannya. Dan faedah qayyid (ikatan) itu dipertegas ialah untuk menunjukkan bahwa kekufurannya itu sudah terang-terangan, tidak mungkin dikatakan hanya sebagai kebanggaan, sebab kekufurannya itu disertai dengan ikrar (pengakuan), yaitu seperti ucapan-ucapan mereka ketika thawaf : Di anatara ucapan kaum kafirin tersebut adalah: “Aku penuhi panggilan-Mu, yang tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang patut untuk-Mu yang Engkau miliki dan apa yang ia miliki”. Dan seperti juga keberanian mereka memasang patung-patung dan berhala-berhala di sekitar Al Baitul ‘Atiq.

3 – Abu Hayyan berkata : “Perintah memakmurkan masjid yang diarahkan kepada orang-orang beriman itu mencakup berbagai sisi; membangunnya, memperbaiki, membersihkannya, mengagungkannya, mempergunakannya sebagai tempat beribadah dan dzikir – termasuk katagori dzikir adalah mencari ilmu – dan mencakup juga memeliharanya dari hal-hal yang tidak sesuai dengan missi dan visi masjid itu, seperti untuk membahas urusan-urusan keduniaan. Dalam hadits syarif Rasul saw. bersabda:  “Jika kamu melihat seorang lelaki membiasakan diri ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia adalah beriman”.

4 – Ungkapan: “Kiranya mereka itulah orang-orang yang diharapkan
mendapatkan petunjuk”.
Yang diarahkan kepada orang-orang beriman, ini berfaedah untuk memutus keinginan orang-orang musyrik yang mengambil manfa’at terhadap amal-amal mereka yang mereka bangga-banggakan. Di mana Allah swt. menjelaskan bahwa petunjuk itu diperoleh oleh orang-orang yang beriman kepada-Nya dan tidak takut kepada selain-Nya, berkisar antara la’alla dan asaa yang berarti “harapan”. Dan jika demikian ini ikhwal orang-orang beriman, lalu bagaimanakah orang-orang musyrik itu ingin mendapatkan “hidayah” dan “kebahagiaan”, padahal mereka masih tetap sifat kufur dan syirik?!

KANDUNGAN HUKUMNYA

Apakah yang dimaksud dengan “Imratul masjid” dalam ayat ini?
Sebagian Ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “IMARATUL MASJID” dalam ayat ini adalah membangun, memperkokoh dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Inilah yang disebut dengan “IMARAH HISSIYAH” (memakmurkan secara fisik/inderawi). Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi saw. yang berbunyi: “Barangsiapa membangun masjid karena Allah walaupun seperti sangkar burung qathah maka Allah swt. akan membangunkan baginya rumah di surga”.

Sebagian Ulama yang lain berpendapat bahwa “MEMAKMURKAN MASJID” adalah dengan shalat, ibadah dan berbagai macam “QURBAH” (amal-amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.). Sebagaimana firman-Nya: “Di rumah-rumah (masjid-masjid) yang oleh Allah telah diidzinkan  untuk didirikan dan disebutnya asma-Nya di dalamnya”. (QS. An Nur : 36)

Inilah yang disebut dengan “IMARAH MAKNAWIYAH”, yang merupakan tujuan utama didirikannya masjid-masjid. Dan kiranya tak ada halangan untuk membawa ayat ini kepada dua pengertian tersebut, yaitu HISIYAH (fisik/bangunan masjid/lahiriah) dan MAKNAWIYAH (moril/jiwa/bathiniah). Inilah yang dipilih oleh Jumhur Ulama, karena lafal ayat tersebut memang menunjukkan demikian.

Abu Bakar Al Jashash berkata : “Memakmurkan masjid itu ada dua macam, yaitu : mengunjungi, singgah di dalam masjid, dan membangun serta memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Demikian itu karena kata-kata ‘ightamara artinya ‘idzadzara (berkunjung). Senada dengan itu ialah kata ‘umrat yang artinya dziyaratul-bayti (mengunjungi baitullah). Perkataan : fulanaamin_’ummarilmasajidi maksudnya adalah si Fulan itu sering-sering berjalan menuju ke masjid-masjid.

Ayat tersebut menyatakan dilarangnya orang-orang kafir masuk ke masjid-masjid, membangun, mengurusi kepentingan-kepentingannya. Sebab lafal ayat di atas memang menunjukkan dua pengertian itu. 



Dipetik dar kitab: RAWA'I'UL-BAYAN, TAFSIRU AYATIL-HAKAM MINAL-QUR-AN, Juz 1, Bab: Imaratul-Masajid, Syaikh Muhammad 'Ali Ashabuni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar