Selasa, 03 November 2009

SHALAT REVOLUSIONER



Memang benar shalat dapat menenangkan hati. Memang benar shalat dapat menggugurkan dosa. Dan, memang benar shalat itu berpahala besar. Namun, apakah manfaatnya sebatas itu?
Barangkali Anda ingin membebaskan diri dari belitan masalah: tumpukan utang, minder menikah, anak nakal, bisnis macet, putus asa, dan bingung? Barangkali anda terjerat kebiasaan buruk yang merugikan diri dan masyarakat yang sulit dihentikan? Barangkali pula, anda termasuk korban pembisik busuk, korban janji-janji palsu politikus, korban ketidak-adilan penguasa yang tidak peduli rakyat?
Barangkali kehormatan anda dan kekayaan alam negeri anda yang amat melimpah dirampas oleh kekuatan korporatokrasi internasional? Barangkali anda termasuk orang hanif yang duduk dalam lingkar pemerintahan namun tidak berdaya di tengah sistem serakah dan ‘aji mumpung keduniaan’?
Jangan sedih dan cemas! Temukan jalan keluarnya dalam buku ini, dengan syarat: (1) Anda harus berjiwa revolusioner. (2) Anda berani menyalakan api revolusioner di jiwa Anda. (3) Anda berani meledakkan jiwa revolusioner dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
---------------------------------------
Informasi Produk :
Penulis: Abu Aqilah As-Sawiti dan Shafratum Alaydrus Al-Husaini
Ukuran Buku: 14x21 cm
Kertas: HVS 70 gr
Halaman: 102+vi
Penerbit: Masjid Press
Tahun: 2009

Harga: Rp25.000,-

FIQH IMARATUL-MASAJID (bag. terakhir dr 4 tulisan)

KANDUNGAN HUKUMNYA

I. Apakah yang dimaksud dengan “Imaratul-masjid” dalam ayat ini?

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “IMARATUL- MASJID” dalam ayat ini adalah membangun, memperkokoh, dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Inilah yang disebut dengan “IMARAH HISSIYAH” (memakmurkan secara fisik/inderawi). Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi saw. yang berbunyi: “Barangsiapa membangun masjid karena Allah walaupun seperti sangkar burung qathah maka Allah swt. akan membangunkan baginya rumah di surga”.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “MEMAKMURKAN MASJID” adalah dengan shalat, ibadah dan berbagai macam “QURBAH” (amal-amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.). Sebagaimana firman-Nya: “Di masjid-masjid yang oleh Allah telah diidzinkan untuk didirikan dan disebutnya asma-Nya di dalamnya”. (QS. An Nur : 36)

Inilah yang disebut dengan “IMARAH MAKNAWIYAH”, yang merupakan tujuan utama didirikannya masjid-masjid. Dan kiranya selaras untuk membawa ayat ini kepada dua pengertian tersebut, yaitu HISIYAH (fisik) dan MAKNAWIYAH (moril. Inilah yang dipilih oleh Jumhur Ulama, karena lafal ayat tersebut memang menunjukkan demikian.

Abu Bakar Al Jashash berkata : “Memakmurkan masjid itu ada dua macam, yaitu: mengunjungi dan singgah (i’tikaf) di dalam masjid dan membangun serta merehab bagian-bagian yang rusak. Demikian itu karena kata-kata ‘ightamara artinya ‘idzadzara (berkunjung). Senada dengan itu ialah kata ‘umrat yang artinya dziyaratul-bayti (mengunjungi baitullah). Perkataan : fulanaa min_’ummaril-masajidi
maksudnya adalah si Fulan itu sering-sering berjalan menuju ke masjid-masjid.

Ayat tersebut menyatakan dilarangnya orang-orang kafir masuk ke masjid-masjid, membangun, mengurusi kepentingan-kepentingannya. Sebab lafal ayat di atas memang menunjukkan dua pengertian itu.


II. Apakah yang dimaksud dengan kata “MASJID” dalam ayat tersebut?

(1) Sebagian Ulama mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah ‘MASJIDIL HARAM”, sebab ia adalah berupa MUFRAD ALAM yang lebih sempurna dan utama serta menjadi kiblat seluruh masjid. Sababun Nuzulnya mendukung pendapat ini, dan ini diriwayatkan juga dari Ikrimah serta dipilih oleh sebagian Ulama Muhaqqiqin, karena ada bacaan IFRAD.(bentuk mufrad/tunggal) : ‘an_ya’muruw masjidallah artinya: “Memakmurkan masjid Allah”.

(2) Ulama yang lain mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah seluruh masjid, sebab kata MASAJID aalah berbentuk jamak’ yang di-IDHAFAH-kan, sehingga menunjukkan pengertian yang umum, dan MASJID AL HARAM termasuk di dalamnya pada urutan yang pertama kali. Seperti jika kita mengatakan :Fulanaa layaqra’u kutuballah artinya: “Si Fulan tidak membaca kitab-kitab Allah swt.” Termasuk di dalamnya adalah Al-Qur’an, pada peringkat utama.

Aku (Muhammad Ali Ash-Shabuni) berkata : “Inilah pendapat yang benar dalam ayat yang mulia ini. Karena shighat (bentuk kalimat)nya menujukkan kepada pengertian umum. Karena itu, tidaklah patut bagi orang-orang musyrik memakmurkan salah satu masjid Allah swt. dengan berbagai macam kemakmuran, sebab “kufur” itu sudah meniadakannya. Sebagaimana pula mereka tidak layak memasuki tempat-tempat yang suci ini, seperti dikatakan oleh Imam Malik ra. Dan mengenai hukum masuknya orang-orang musyrik ke dalam masjid akan dijelaskan dalam ayat-ayat berikut ini.


III. Bolehkah minta bantuan orang kafir dalam membangun masjid?

Bertitik tolak dari ayat ini, sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwasannya tidaklah boleh minta bantuan kepada orang kafir dalam membangun masjid. Sebab itu termasuk memakmurkan dalam bentuk HISIYAH (fisik), padahal Allah swt. telah melarang memperkenankan orang-orang musyrik untuk memakmurkan masjid-masjid (rumah-rumah Allah).

Dan jelasnya bahwa minta bantuan orang kafir (dalam membangun masjid) itu adalah boleh. Sedang yang dilarang ialah penguasaannya dan mengatur segala urusannya secara mandiri, seperti memangku jabatan “Nadhir Masjid” atau pengurus harta waqaf. Adapun minta bantuan orang kafir dalam hal pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan kekuasaan, seperti mengukir batu, membangun dan mengukir kayu, maka tidak ada larangan. Ini adalah pendapat Jumhur Fuqaha’.


KESIMPULAN PETUNJUK AYAT

a. Amal-amal kebaikan yang timbul dari orang-orang musyrik tidak ada pahalanya, karena kekufuran dan kemusyrikan, berdasarkan firman Allah swt.: artinya: “Dan Kami datangi amal-amal mereka itu, lalu Kami menjadikannya (laksana) debu yang berhamburan”. (QS. AL Furqan, 23.)

b. Memakmurkan masjid patut sekali bagi ahlul-iman yang mengagungkan kemuliaan-kemuliaan Allah swt.

c. Wajib bersikap ikhlas, baik dalam ucapan dan perbuatan.

d. Hendaknya tujuan utama membangun masjid adalah mencari ridha Allah swt., bukan untuk pamer (riya’) dan sum’ah (supaya harum namanya).

Dikutip dari kitab: WAR'I'UL-BAYAN, TAFSIRU AYATIL-AHKAMI MINAL-QUR'AN, Juz !, Bab Imaratul-Masajid, Syaikh Muhammad 'Ali Ash-Shabuni


HATIKU DI MASJID - Admin

FIQH IMARATUL-MASAJID (bag. 3 dr 4 tulisan)


INTISARI TAFSIRNYA

1 – Disebutnya kata “MASJID” secara mutlak. Adapun yang dimaksudkan adalah “MASJIDIL HARAM”, menurut sebagian ulama, ini termasuk susunan yang berbentuk MAJAZ MURSAL menurut Ilmu Balaghah, dengan menyebutkan secara umum (ITHLAQ) tapi yang dimaksudkan adalah tertentu (KHUSUS). Sedang diungkapkannya dalam bentuk jama’ masajid adalah karena ia merupakan “kiblat” dan imam bagi masjid-masjid yang lain seluruh dunia.

2 – Alasan hakiki dilarangnya orang-orang musyrik memakmurkan rumah-rumah Allah swt. ialah kekufurannya itu sendiri bukan pengakuannya. Dan faedah qayyid (ikatan) itu dipertegas ialah untuk menunjukkan bahwa kekufurannya itu sudah terang-terangan, tidak mungkin dikatakan hanya sebagai kebanggaan, sebab kekufurannya itu disertai dengan ikrar (pengakuan), yaitu seperti ucapan-ucapan mereka ketika thawaf : Di anatara ucapan kaum kafirin tersebut adalah: “Aku penuhi panggilan-Mu, yang tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang patut untuk-Mu yang Engkau miliki dan apa yang ia miliki”. Dan seperti juga keberanian mereka memasang patung-patung dan berhala-berhala di sekitar Al Baitul ‘Atiq.

3 – Abu Hayyan berkata : “Perintah memakmurkan masjid yang diarahkan kepada orang-orang beriman itu mencakup berbagai sisi; membangunnya, memperbaiki, membersihkannya, mengagungkannya, mempergunakannya sebagai tempat beribadah dan dzikir – termasuk katagori dzikir adalah mencari ilmu – dan mencakup juga memeliharanya dari hal-hal yang tidak sesuai dengan missi dan visi masjid itu, seperti untuk membahas urusan-urusan keduniaan. Dalam hadits syarif Rasul saw. bersabda:  “Jika kamu melihat seorang lelaki membiasakan diri ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia adalah beriman”.

4 – Ungkapan: “Kiranya mereka itulah orang-orang yang diharapkan
mendapatkan petunjuk”.
Yang diarahkan kepada orang-orang beriman, ini berfaedah untuk memutus keinginan orang-orang musyrik yang mengambil manfa’at terhadap amal-amal mereka yang mereka bangga-banggakan. Di mana Allah swt. menjelaskan bahwa petunjuk itu diperoleh oleh orang-orang yang beriman kepada-Nya dan tidak takut kepada selain-Nya, berkisar antara la’alla dan asaa yang berarti “harapan”. Dan jika demikian ini ikhwal orang-orang beriman, lalu bagaimanakah orang-orang musyrik itu ingin mendapatkan “hidayah” dan “kebahagiaan”, padahal mereka masih tetap sifat kufur dan syirik?!

KANDUNGAN HUKUMNYA

Apakah yang dimaksud dengan “Imratul masjid” dalam ayat ini?
Sebagian Ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “IMARATUL MASJID” dalam ayat ini adalah membangun, memperkokoh dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Inilah yang disebut dengan “IMARAH HISSIYAH” (memakmurkan secara fisik/inderawi). Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi saw. yang berbunyi: “Barangsiapa membangun masjid karena Allah walaupun seperti sangkar burung qathah maka Allah swt. akan membangunkan baginya rumah di surga”.

Sebagian Ulama yang lain berpendapat bahwa “MEMAKMURKAN MASJID” adalah dengan shalat, ibadah dan berbagai macam “QURBAH” (amal-amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.). Sebagaimana firman-Nya: “Di rumah-rumah (masjid-masjid) yang oleh Allah telah diidzinkan  untuk didirikan dan disebutnya asma-Nya di dalamnya”. (QS. An Nur : 36)

Inilah yang disebut dengan “IMARAH MAKNAWIYAH”, yang merupakan tujuan utama didirikannya masjid-masjid. Dan kiranya tak ada halangan untuk membawa ayat ini kepada dua pengertian tersebut, yaitu HISIYAH (fisik/bangunan masjid/lahiriah) dan MAKNAWIYAH (moril/jiwa/bathiniah). Inilah yang dipilih oleh Jumhur Ulama, karena lafal ayat tersebut memang menunjukkan demikian.

Abu Bakar Al Jashash berkata : “Memakmurkan masjid itu ada dua macam, yaitu : mengunjungi, singgah di dalam masjid, dan membangun serta memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Demikian itu karena kata-kata ‘ightamara artinya ‘idzadzara (berkunjung). Senada dengan itu ialah kata ‘umrat yang artinya dziyaratul-bayti (mengunjungi baitullah). Perkataan : fulanaamin_’ummarilmasajidi maksudnya adalah si Fulan itu sering-sering berjalan menuju ke masjid-masjid.

Ayat tersebut menyatakan dilarangnya orang-orang kafir masuk ke masjid-masjid, membangun, mengurusi kepentingan-kepentingannya. Sebab lafal ayat di atas memang menunjukkan dua pengertian itu. 



Dipetik dar kitab: RAWA'I'UL-BAYAN, TAFSIRU AYATIL-HAKAM MINAL-QUR-AN, Juz 1, Bab: Imaratul-Masajid, Syaikh Muhammad 'Ali Ashabuni